Dampak bentuk pemerintahan desentralisasi
Pemerintahan
Desentralisasi Berdampak Pada INDONESIA
Desentralisasi adalah penyerahan
kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk
mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan
aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik
Indonesia. Dengan adanya desentralisasi maka muncullan otonomi bagi
suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah
dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai
penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan
Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan
sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang
menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia. Seperti
yang telah dijelaskan di atas, bahwa desentralisasi berhubungan
dengan otonomi daerah. Sebab, otonomi daerah merupakan kewenangan
suatu daerah untuk menyusun, mengatur, dan mengurus daerahnya sendiri
tanpa ada campur tangan serta bantuan dari pemerintah pusat. Jadi
dengan adanya desentralisasi, maka akan berdampak positif pada
pembangunan daerah-daerah yang tertinggal dalam suatu negara. Agar
daerah tersebut dapat mandiri dan secara otomatis dapat memajukan
pembangunan nasional.
Pada rezim orde
baru, kebijakan pemerintah daerah harus menunggu keputusan dari
pemerintah pusat. Padahal, pemerintah pusat tidak lebih memahami
permasalahan setiap daerah karena karakteristik masing-masing daerah
berbeda. Akibatnya, sumber daya alam yang melimpah tidak dapat
dimanfaatkan dan dinikmati sebagaimana mestinya oleh masyarakat di
daerah. Justru pemasukan lebih mengarah ke pemerintah pusat sebagai
pemegang kontrol pembangunan di daerah.
Misalnya di daerah
Riau. Pada tahun 1997 dan 1998 daerah tersebut menghasilkan
pendapatan asli daerah (PAD) sebesar Rp. 59,14 triliun. Namun, hanya
1,71 persen atau Rp. 1,01 triliun saja yang diterima oleh daerah
tersebut sementara sisanya masuk ke pemerintah pusat
(www.ryasrasyid.wordpress.com diakses 16 April 2011).
Keadaan tersebut
jelas tidak menguntungkan daerah. Selain merasa didiskriminasi,
daerah tidak dapat bergerak bebas atas wilayahnya sendiri dan harus
disetir pemerintah pusat. Kekecewaan terhadap pemerintah pusat ini
kemudian direalisasikan dengan keinginan untuk memisahkan diri dengan
Indonesia, contohnya adalah Timor Timur. Hal ini jelas merupakan
sesuatu yang tidak diinginkan siapapun. Bukan karena berkurangnya
aset daerah yang mampu mendukung ekonomi nasional, namun lebih
dikarenakan hilangnya suatu bagian NKRI yang sedari awal berjuang
bersama merebut kemerdekaan. Selain itu, secara tidak langsung
keadaan tersebut menunjukkan bahwa dikotomi kekuasaan tidak sesuai
dengan pembangunan yang dicita-citakan. Oleh karena itu, diperlukan
suatu cara untuk merubah sistem yang ada. Cara itu adalah otonomi
daerah, yang mengubah sistem sentralistik menjadi desentralistik.
Menurut Ryaas
Rasyid, pemrakarsa otonomi daerah sekaligus mantan Menteri Otonomi
Daerah, daerah harus mampu mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki
dengan kemampuan sendiri dan menanganinya sekreatif mungkin. Hal itu
diwujudkan dengan pergantian kebijakan dari Undang-undang Nomor 5
Tahun 1974 yang menghasilkan mekanisme pemerintahan yang
sentralistik, menjadi Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
pemerintahan daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang kemudian
direvisi menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-undang
Nomor 33 Tahun 2004. Dengan adanya kebijakan tersebut, diharapkan
mampu meningkatkan pertumbuhan daerah dengan pembangunan yang fokus
dan terarah.
Namun pada
kenyataannya, sejak diterapkan pada 1 Januari 2001, praktek
desentralisasi tidak berjalan sesuai harapan. Permasalahan baru
bermunculan, sementara tujuan mulia desentralisasi seolah sulit
diwujudkan. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain timbulnya
korupsi di kalangan pejabat pemerintah, timbulnya pemekaran wilayah
dan ketimpangan antar wilayah sampai pada sengketa yang terjadi
akibat dari pemekaran wilayah.
Seperti suatu
kebijakan pada umumnya, praktek desentralisasi ini memiliki sisi
positif dan sisi negatif. Hal baik yang dapat diambil dari keberadaan
desentralisasi ini adalah semakin meningkatnya kemampuan pemerintah
daerah dalam mengatur wilayahnya sendiri tanpa harus didekte oleh
pusat. Kemungkinan kesalahan perencanaan pembangunan dapat dikurangi
karena pemerintah daerah lebih mengetahui dan memahami karakter
wilayahnya sendiri sehingga pembangunan dapat terlaksana sesuai
dengan potensi yang ada dengan mengarah kepada tujuan. Pejabat
pemerintahan di daerah juga lebih dapat bertanggung jawab karena
melakukannya secara mandiri atas apa yang dilakukan pada wilayahnya
sendiri. Dengan keleluasaan tersebut, diharapkan kreativitas daerah
dalam mengatasi berbagai permasalahan domestik akan terpacu dan mampu
meningkatkan kapabilitasnya sebagai wilayah yang tidak hanya memiliki
kekayaan sumber daya alam saja, namun juga sumber daya manusianya.
Dengan demikian, kesejahteraan masyarakat di daerah dapat tercapai
dan kesenjangan sosial atas tidak meratanya pembangunan dengan
wilayah pusat dapat dikurangi.
Sementara itu, tugas
pemerintah pusat lebih dapat terorganisir dengan berkurangnya
wewenang atas pembangunan di daerah. Pemerintah pusat dapat lebih
berkonsentrasi terhadap permasalahan makro yang harus dihadapi
negara. Pemerintah juga dapat mengatur pembangunan secara nasional
dan mengawasi jalannya pembangunan agar pemerataan daerah dapat
tercapai. Selain itu, pemerintah pusat juga dapat lebih fokus
memajukan dan melindungi negara dari ancaman baik dari dalam maupun
dari luar negeri.
Namun tujuan
perubahan sistem dari sentralistik top-down menjadi desentralistik
bottom-up tidak selamanya berdampak baik. Bahkan banyak
permasalahan baru yang timbul, permasalahan
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
Pemerintah daerah belum dapat melepaskan
diri dari ketergantungan terhadap pemerintah pusat.
Desentralisasi yang menghasilkan otonomi daerah
ini tidak sepenuhnya dapat dijalankan oleh seluruh daerah di
Indonesia. Kota-kota besar yang telah mendapatkan keuntungan
pembangunan sejak orde lama dan orde baru mungkin dapat mengikuti
proses otonomi. Namun tidak sama halnya dengan daerah-daerah
terpencil atau daerah yang lokasinya jauh dari pusat. Pejabat daerah
yang pada masa sebelumnya tidak pernah menerima kepercayaan dari
pemerintah pusat untuk mengelola wilayahnya sendiri, dan tiba-tiba
setelah adanya otonomi daerah mendapatkan wewenang tersebut, pasti
tidak dapat serta merta meengelola wilayahnya. Apalagi pengelolaan
kekayaan alam di daerahnya harus dengan dana sendiri. Oleh karena
itu, banyak daerah-daerah yang masih tergantung terhadap pusat
terutama untuk permasalahan anggaran atau dana pembangunan.
Semakin tingginya penarikan biaya kepada
masyarakat.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dengan Daerah, sumber penerimaan
daerah terdiri dari 2, yaitu pendapatan daerah dan pembiayaan daerah.
Pendapatan daerah bersumber dari pendapatan asli daerah (PAD), dana
perimbangan, lain-lain pendapatan. Sedangkan pembiayaan bersumber
dari sisa lebih perhitungan anggaran daerah, penerimaan pinjaman
daerah, dana cadangan daerah, dan hasil penjualan kekayaan daerah
yang dipisahkan. Adapun sumber PAD adalah pajak daerah, retribusi
daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, hasil
penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro,
pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata
uang asing, serta komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai
akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh
daerah. Ditilik dari penjelasan tersebut, maka seharusnya PAD
terbesar berasal dari hasil pengelolaan dan penjualan kekayaan daerah
serta penjualan ataupun pengadaan barang dan jasa daerah sebagai
bentuk otonomi daerah. Namun pada kenyataannya, PAD di kebanyakan
daerah bersumber dari pajak dan retribusi daerah. Contohnya adalah di
Kota Surabaya. Jumlah dana PAD dalam total penerimaan kota tersebut
pada tahun 1998 – 2002 paling rendah dibandingkan dengan bagian
dana hasil perimbangan serta sumbangan dan bantuan. Sedangkan dari
PAD tersebut, pajak daerah serta retribusi menyumbang dana paling
tinggi dibandingkan yang lainnya. (http://www.tkp2e-dak.org diakses
12 April 2011). Hal ini menunjukkan masih rendahnya tingkat
kreatifitas daerah atas sikap kemandirian otonom. Pajak dan retribusi
yang dibebankan kepada masyarakat ini jelas akan menimbulkan
kesulitan dalam kehidupan perekonomian masyarakat sehingga
kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan desentralisasi tidak
dapat tercapai.
Kasus-kasus korupsi oleh pejabat-pejabat
pemerintah daerah.
Adanya sistem desentralisasi ini bukan berarti
bebas dari permasalahan korupsi. Bahkan otonomi daerah mampu
menciptakan koruptor-koruptor kecil dari daerah. Berdasarkan laporan
dari Indonesia Corruption Watch (ICW), pada tahun 2004 terjadi 432
kasus korupsi di Indonesia dengan berbagai macam aktor, modus, dan
kerugian negara. Adapun 83 kasus melibatkan kepala daerah, dan 124
kasus melibatkan anggota DPRD.
(http://www.suarapembaruan.com/News/2005/01/19/index.html diakses 15
April 2005). Data tersebut seolah menjelaskan bahwa terjadi monopoli
kekuasaan oleh pejabat daerah berupa kepala daerah dan legislatifnya.
Kurang jelasnya dikotomi kekuasaan
pemerintah.
Pembagian kewenangan baik pemerintah pusat,
provinsi, maupun kabupaten/kota yang diatur oleh Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 terkait otonomi daerah masih belum jelas, terutama
hubungan antara pejabat pemerintahan provinsi dengan kabupaten/kota.
Dalam otonomi daerah, gubernur tidak lagi menjadi atasan walikota
ataupun bupati dikarenakan unit pelaksana otonomi daerah berada pada
tingkat kabupaten dan kota. Oleh karena itu, kekuasaan gubernur hanya
terbatas kekuasaan administratif. Hal tersebut mengakibatkan tumpang
tindihnya wewenang pemerintahan.
Pemekaran wilayah yang berlebihan.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004,
pemekaran wilayah adalah membagi daerah administrasi (daerah otonom)
yang sudah ada menjadi 2 atau lebih daerah otonom baru. Setelah
pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, jumlah daerah otonom
baru semakin bertambah. Berdasarkan data yang dihimpun BAPPENAS dan
UNDP pada tahun 2008, pada tahun 2004, jumlah provinsi bertambah 7
buah menjadi 33 provinsi, sedangkan kabupaten/kota bertambah 37 buah
menjadi 440 kabupaten/kota. Adapun berikut ini merupakan grafik
pertumbuhan pemekaran wilayah di Indonesia selama periode tahun 1999
hingga 2007.
Pemekaran wilayah sebenarnya bukanlah suatu
hal yang buruk. Namun dengan kecenderungan peningkatan jumlah daerah
pemekaran hampir setiap tahunnya, mulai timbul pertanyaan. Apakah
daerah pemekaran tersebut sudah siap untuk berdiri sendiri?
BAPPENAS dalam Kajian Percepatan Pembangunan
Daerah Otonom Baru yang dilakukan pada tahun 2005 di Kabupaten
Serdang Bedagai (Sumatera Utara), Kabupaten Sekadau (Kalimantan
Barat), Kota Tomohon (Sulawesi Utara), Kabupaten Sumbawa Barat (NTB)
dan Kota Tasikmalaya (Jawa Barat), memberitakan bahwa PAD tiap daerah
tersebut meningkat, namun ketergantungan terhadap dana alokasi umum
(DAU) masih tinggi. Selain itu juga terjadi peningkatan belanja
pembangunan walaupun apabila dibandingkan dengan belanja rutin
proporsinya masih kecil. Hal tersebut menunjukkan bahwa kualitas
pelayanan masyarakat pada daerah-daerah otonom baru tersebut belum
meningkat karena pada tahun-tahun awal pemerintah daerah otonom baru
memprioritaskan pembangunan pada pembenahan kelembagaan,
infrastruktur kelembagaan, personil dan keuangan daerah.
Desentralisasi sebagai suatu perbaikan sistem
sentralistik pada era Orde Baru ternyata juga menimbulkan
permasalahan. Hal tersebut dikarenakan kurang siapnya pejabat
pemerintah baik pusat maupun daerah. Akibatnya pemerintah daerah
belum dapat sepenuhnya mandiri dan masih tergantung kepada pusat.
Dikotomi kekuasaan dan saling tumpang tindih wewenang serta peraturan
di tingkat pusat maupun daerah sering terjadi. Selain itu,
perekonomian masyarakat justru semakin dipersulit karena pajak dan
retribusi daerah menjadi sumber PAD terbesar.
Fenomena pemekaran wilayah pun merajalela
akibat kekecewaan terhadap pemerintahan yang ada serta menimbulkan
daerah otonom-otonom baru yang dapat dipastikan mengulang
permasalahan otonomi sebelumnya. Oleh karena itu, seharusnya pejabat
pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah mampu bersikap
profesional dalam menyingkapinya.
Pembelajaran terhadap kasus-kasus serupa di
luar NKRI yang sukses, kerjasama antar daerah dengan mengesampingkan
egoisme masing-masing daerah sebenarnya bisa menjadi jalan pemerataan
daerah asalkan sikap disiplin dan saling memiliki dipegang teguh.
Sumber:
UNIVERSITAS
GUNADARMA DEPOK
TEKNIK
INFORMATIKA ‘12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar